Soal untuk anak kelas 2, midsemester 1:
A ---------- B ----------- C ------------ D
Semut berjalan dari A ke B sejauh 123 mm, dari B ke C 74 mm, lalu dari C ke D 156 mm. Berapa mm-kah jarak yang ditempuh semut itu dari A ke D?
Jawaban anak sudah lengkap dengan jalan & hasilnya benar.
a = 123 mm + 74 mm + 156 mm = 353 mm
Jadi, semut itu telah berjalan 353 mm.
Kalau saya yang jadi gurunya ini sudah pasti saya benarkan -- nggak pakai pikir panjang,
berhubung saya juga sempat jadi guru SMP dan jadi guru mahasiswa. Perhatikan soal tsb: Bilangannya juga bukan yang cantik, tidak sederhana maksudnya. Perlu ketelitian tinggi utk menghitungnya. Kalau anak sudah berhasil melalui ini berarti dia sudah bekerja keras.
Tapi ternyata nilai anak dikurangi, kenapa? Karena konklusi/ kesimpulan yang diharapkan:
Jadi, jarak yang ditempuh semut itu dari A ke D adalah 353 mm.
Oh, come on, please deh.... Ini kan soal matematika, bukan soal bahasa Indonesia? Ternyata jawaban Kepsek, anak-anak terpaksa dibiasakan begini sejak awal karena kalau ujian negara/ nasional ya harus begitu, harus sama persis, kalau nggak ya dicoret-coret/ dikurangi nilainya. Pantes......
Yang mirip kasusnya:
Vino mempunyai 115 kelereng (banyak amat, buat apa?). Lalu Aldi memberikan 120 kelereng. Lalu diberikan kepada Farel 72 butir kelereng. Berapakah jumlah kelereng Vino sekarang?
Jawaban anak:
y = 115 + 120 - 72 = 163.
Jadi, kelereng Vino sekarang 163.
Nggak ada yang salah rasanya, tapi .... kok dikurangi nilainya & ada tanda titik-titik di belakangnya (oleh guru)??
Ketika saya protes, "Masak musti ditulis lagi kelereng Vino sekarang 163 kelereng?", dalam hati: "Redundant, berlebihan, lebay" :-)
Dan jawaban guru adalah: supaya tidak diulang menjadi:
Jadi kelereng Vino sekarang 163 butir.Betul sih, tapi kan ini bukan soal Bhs. Indonesia, sehingga nilainya sampai berkurang?
Dan bagaimana dengan tahu? Karena pada soal yang lain anak menjawab:
Jadi, jumlah tahu yang dibeli ibu 100.---> Dikurangi nilainya juga, karena seharusnya:
Jadi, jumlah tahu yang dibeli ibu 100 potong.Padahal, kalau ibu-ibu beli tahu bicaranya begini: "Mang, beli tahu 20!"
Gitu 'kan? Nggak pakai embel-embel potong.
____________________________________________________________________
Mumpung sedang membahas Matematika, ini contoh soal lainnya:
a = 245, b = 87, c = 128, d = a + b - c.
Berapakah d?
Atau yang ini:
a + 73 + 127 = 500. Berapakah a?
Saya jadi senyum2 sendiri, teringat peserta kuis "Are U smarter than a 5th grader" yang biasanya celebs & mahasiswa itu saja belum tentu bisa. Memang sih soal ini sebetulnya sederhana, hanya tambah kurang, cuma karena ada variabel a,b,c,d kesannya susah gitu...
Tapi yang beratnya, soal ini diberikan pada awal th pelajaran kelas 2 SD lho! Pada saat mereka belum fasih berhitung 1-500!
Ibaratnya anak kita baru belajar jalan, hari kedua sudah disuruh nyebrang jalan, hari ketiga sudah disuruh ke warung.
Saya ingat dulu kelas 2 SD masih muter-muter di berhitung sampai 100 saja, tapi sampai fasih (tidak pakai jari lagi). Lalu diajarkan pengertian (konsep) perkalian, diikuti dengan tabel kali-kalian yang sampai 10 x 10 itu lho. SUDAH. Itu dulu. Nanti 'kan otomatis yang ratusan, 500, ribuan bisa dengan sendirinya.... (kalau sudah lancar dengan yang bilangan kecil)?
Tolong yang berwenang dalam pembuatan kurikulum SD memperhatikan ini.... Terima kasih.