Selasa, 27 Oktober 2009

Tas/Buku Terlalu Berat. Hubungannya dengan Gurun.

Satu hal lagi:
tas dan bukunya terlalu berat!!

Sehingga dia/mereka terpaksa pakai tas trolley, yang setiap 6 bulan atau 1 tahun harus diganti karena rusak/kucel, walaupun ini tergantung kualitas & harga tas, he he...

(Kalau tidak salah, utk seorang anak yang sedang tumbuh tulang2nya, beban maksimum untuk dibawa di bahunya = 10% berat badan. Jadi kalau berat badannya 25 kg, hanya boleh membawa 2,5 kg beban.)

Untuk masing2 pelajaran ada 2 buku tulis untuk Catatan, PR, pekerjaan sekolah + ada 1 buku cetak. Sehari 3 sampai 4 pelajaran, jadi total buku yang dibawa = 9 sampai 12 buku per hari.

Dan belum tentu dipakai semua....
Kalau anak pulang sekolah saya cek buku2nya, banyak yang masih kosong.
Tapi kalau ada yang tidak dibawa, (pernah) anak kena denda disuruh menulis halus 100 kali (nggak kuraaang!)

Ternyata buku cetak juga ikut ditulisi untuk pekerjaan sekolah/PR, 'kan sayang?
Apa gunanya buku tulis dong?
Lalu kadang masih ada lembar fotokopi untuk ditempelkan di catatan.
Kenapa utk belajar kok repot sekali? Kenapa ongkos untuk sekolah kok musti mahal?

Sebagai perbandingan, jaman saya dulu buku cetak bisa turun sampai (minimal) 3 generasi adik saya. Karena selain cara pegangnya rapi, buku cetak tidak ditulisi, kecuali catatan2 tambahan di sana-sini.

(Cat: Cara spt ini sangat menolong dalam penghematan. Saya dari keluarga besar, dengan pencari nafkah tunggal hanya bapak, seorang guru/Pegawai Negeri, dgn gaji pas-pas an banget nyaris kurang.....)

Sedangkan jaman sekarang, setiap semester utk anak kami belanja buku cetak 350 ribu, belum termasuk buku tulis & sampul plastik, dan itu tidak bisa dilungsurkan utk dipakai lagi oleh orang lain.

Bukankah ini selain pemborosan, juga menambah tinggi timbunan sampah, dan lebih jahat lagi merusak alam sendiri? (Semakin banyak pohon ditebang, utk dibuat buku).

Bapak saya pernah cerita: Gurun Sahara (masa ya? atau saya salah ingat?) sebetulnya pernah hutan dan menjadi gurun hanya dalam waktu 50 tahun!
Karena pohon-pohon di sana ditebangi dgn membabi-buta untuk pembuatan rumah/villa/gedung dll dalam jaman Romawi.
Tapi lihat, setelah dia menjadi pasir, susah sekali 'kan untuk mengembalikannya menjadi daerah berpohon? Menghabiskan hanya perlu 50 tahun, tapi membangun kembali susah sekali......

Kalau saya baca di koran (Kompas mis.) mulai disebutkan kemungkinan berapa tahun lagi pohon di Kalimantan habis (yang padahal dulunya hutan perawan model Amazone gitu....).

Jadi? Sekolah harus menghemat pemakaian buku!

PS : Dan pesan utk kita-kita: segera tanam pohon di tanah.

Bukan sekedar di pot.
Bukan cuma dedaunan
(seperti suplir, sri rejeki, aglonema atau dieffenbachia),
tapi POHON yang BERAKAR KERAS.
(seperti mangga, jambu air, jambu klutuk, belimbing, belimbing wuluh, pohon salam).

Plus di pagar kita coba ditanam labu (merambat), waluh, daun sirih, dll tanaman merambat.


PS 2: Nah, ini barusan dapat dari http://agungks.multiply.com/reviews/item/8:

Dalam sejarah kita lihat bagaimana kemunduran pulau Paskah yang pohon-pohonnya habis ditebang untuk perahu, sehingga tidak ada lagi pohon yang lebih tinggi dari 3 meter sekarang!

Bangsa Funisia juga mengeksploitasi hutan berlebihan untuk kapal, sampai terjadi penggurunan, yang dibantu oleh perubahan iklim.
Demikian pula daerah gurun terbesar Sahara.
Usaha-usaha kita banyak yang anti-survival dan mengecilkan fitness. Kurang sekali kesadaran untuk mewariskan tanah air yang lebih baik untuk generasi masa depan.

PS 3: Juga dari sini http://tulisdunia.blogspot.com/2009/10/gurun-sahara-pernah-hijau.html
diperoleh info bahwa Gurun Sahara pernah hijau.