Selasa, 27 Oktober 2009

Sudah Perlukah Anak SD Diajari Bhs Mandarin?

Anak saya sejak kelas 1 sudah diajarkan 4 bahasa:
- bahasa Indonesia,
- bahasa Inggris,
- bahasa Sunda (karena sekolah di Jawa Barat),
- dan bahasa Mandarin.

Termasuk cara menuliskan huruf-hurufnya yang menurut saya tidak ada rumus bakunya. Belum lagi kalau dibuat menjadi kalimat, urutan hurufnya bisa beda lagi.

Yang masih sederhana:
Soal: Itu adalah kambing.
Jwb anak: Na shi yang. Lalu huruf Mandarinnya.

Soal: Ini adalah ayam.
Jwbn anak: Zhe shi ji. Lalu huruf Mandarinnya.

Itu bukan itik.
Jwbn anak: Na bushi ya. Lalu huruf Mandarinnya.

(Lengkap dengan curek-cureknya yang beragam / umlaut kalau di bahasa Jerman, tapi tidak bisa saya ketikkan di sini).

Nah, kalau kalimatnya seperti berikut, maka urutannya jadi berbeda, tapi sayangnya ibu guru tidak mengajarkan bagaimana "rules" nya, sehingga dicoret-coretlah jawaban anak di sana-sini.

Soal: Ini adalah ayah saya.
Usaha anak dlm menjawab: Zhe shi baba wo. Lalu huruf Mandarin yg ternyata urutannya harus ditukar-tukar.

Soal: Itu adalah kakak laki-laki dia.
Usaha anak: Na shi ge ta. Lalu huruf Mandarin yg ternyata urutannya harus ditukar-tukar.

Soal: Ini bukan kuda saya, ini adalah kuda mereka.
Usaha anak dlm menjwb: Zhe bu shi ma wo zhe shi ma ta men. Lalu huruf Mandarin yg ternyata urutannya harus ditukar-tukar.

Soal: Ini bukan nenek saya, ini nenek dia.
..................ng..........ng........................
(saat ini sy speechless & bingung mau ngetik apa, krn sambil nyontek buku anak, tapi belum ketemu jwbnnya, he he...)

Soal: Dia adalah adik perempuan saya.
Usaha anak: Ta shi mei mei wo. Dan tulisan Mandarinnya.
Tapi disalahkan total, saya sendiri tidak bisa bantu & gak ngerti apa salahnya.

Kalau utk soal semacam ini benar semua:
"lapangan rumput hijau"
(qing se de cao di)

"rambut hitam"
(hei se de tou fa)

Lalu saya teringat masa kecil yang bahagia (walaupun serba sederhana), sewaktu kami anak-anak yang bertetangga puas bermain "bancakan", "galah asin", main "sondah", bersepeda sampai jauh (benar-benar sampai badan basah, bukan sekedar berkeringat), naik-turun pohon memetik mangga/ jambu/ alpukat, keluar masuk kolong tempat tidur bermain petak umpet, atau melompat-lompat di atas ban-ban bekas. (Kalau sekarang berlompatan di atas trampolin).

Lho apa hubungannya dengan bahasa?

Maksudnya saking PR atau pelajaran itu belum seberat sekarang, paling-paling baru 2 bahasa (Ind. & daerah), maka kami generasi tua masih sempat bermain sepuasnya. Dari pelajaran lain juga tidak seberat sekarang. Kelas 2 masih hafalan perkalian sampai 10x10. Belum sampai kg, hg, dag, g, dg, cg, mg. Atau km, hm, dam, m, dm, cm, mm. Mana terus gurunya lupa bahwa anak yang diajar belum belajar perkalian, desimal, pecahan, tapi diberi soal 650 cm - 320 cm = ......... m? Jadi sekalian deh saya ajarkan desimal, apa artinya angka2 di belakang koma.

1 0 2 3 4 5 6 , 7 8 9 1
1 jutaan, 0 ratusan ribu, 2 puluhan ribu, 3 ribuan, 4 ratusan, 5 puluhan, 6 satuan, koma,
7 persepuluhan, 8 perseratusan, 9 perseribuan, 1 persepuluhribuan, dst.

Dan untungnya dia ngerti lho!

Tiba-tiba dia bilang dia menciptakan ukuran baru: rm & rg, katanya singkatan dari rektometer & rektogram. Letaknya di bawah tangga mili. Perlu bikin hak paten nih :-)

Lalu dia buatkan soal buat saya,

Mamah, 10000000 rg = ................. kg?

Ha ha.... untung masih bisa bercanda dia.

Kebetulan yang pas, rectum di biologi juga bagian terujung dari sistem pencernaan.