Selasa, 27 Oktober 2009

Sudah Perlukah Anak SD Diajari Bhs Mandarin?

Anak saya sejak kelas 1 sudah diajarkan 4 bahasa:
- bahasa Indonesia,
- bahasa Inggris,
- bahasa Sunda (karena sekolah di Jawa Barat),
- dan bahasa Mandarin.

Termasuk cara menuliskan huruf-hurufnya yang menurut saya tidak ada rumus bakunya. Belum lagi kalau dibuat menjadi kalimat, urutan hurufnya bisa beda lagi.

Yang masih sederhana:
Soal: Itu adalah kambing.
Jwb anak: Na shi yang. Lalu huruf Mandarinnya.

Soal: Ini adalah ayam.
Jwbn anak: Zhe shi ji. Lalu huruf Mandarinnya.

Itu bukan itik.
Jwbn anak: Na bushi ya. Lalu huruf Mandarinnya.

(Lengkap dengan curek-cureknya yang beragam / umlaut kalau di bahasa Jerman, tapi tidak bisa saya ketikkan di sini).

Nah, kalau kalimatnya seperti berikut, maka urutannya jadi berbeda, tapi sayangnya ibu guru tidak mengajarkan bagaimana "rules" nya, sehingga dicoret-coretlah jawaban anak di sana-sini.

Soal: Ini adalah ayah saya.
Usaha anak dlm menjawab: Zhe shi baba wo. Lalu huruf Mandarin yg ternyata urutannya harus ditukar-tukar.

Soal: Itu adalah kakak laki-laki dia.
Usaha anak: Na shi ge ta. Lalu huruf Mandarin yg ternyata urutannya harus ditukar-tukar.

Soal: Ini bukan kuda saya, ini adalah kuda mereka.
Usaha anak dlm menjwb: Zhe bu shi ma wo zhe shi ma ta men. Lalu huruf Mandarin yg ternyata urutannya harus ditukar-tukar.

Soal: Ini bukan nenek saya, ini nenek dia.
..................ng..........ng........................
(saat ini sy speechless & bingung mau ngetik apa, krn sambil nyontek buku anak, tapi belum ketemu jwbnnya, he he...)

Soal: Dia adalah adik perempuan saya.
Usaha anak: Ta shi mei mei wo. Dan tulisan Mandarinnya.
Tapi disalahkan total, saya sendiri tidak bisa bantu & gak ngerti apa salahnya.

Kalau utk soal semacam ini benar semua:
"lapangan rumput hijau"
(qing se de cao di)

"rambut hitam"
(hei se de tou fa)

Lalu saya teringat masa kecil yang bahagia (walaupun serba sederhana), sewaktu kami anak-anak yang bertetangga puas bermain "bancakan", "galah asin", main "sondah", bersepeda sampai jauh (benar-benar sampai badan basah, bukan sekedar berkeringat), naik-turun pohon memetik mangga/ jambu/ alpukat, keluar masuk kolong tempat tidur bermain petak umpet, atau melompat-lompat di atas ban-ban bekas. (Kalau sekarang berlompatan di atas trampolin).

Lho apa hubungannya dengan bahasa?

Maksudnya saking PR atau pelajaran itu belum seberat sekarang, paling-paling baru 2 bahasa (Ind. & daerah), maka kami generasi tua masih sempat bermain sepuasnya. Dari pelajaran lain juga tidak seberat sekarang. Kelas 2 masih hafalan perkalian sampai 10x10. Belum sampai kg, hg, dag, g, dg, cg, mg. Atau km, hm, dam, m, dm, cm, mm. Mana terus gurunya lupa bahwa anak yang diajar belum belajar perkalian, desimal, pecahan, tapi diberi soal 650 cm - 320 cm = ......... m? Jadi sekalian deh saya ajarkan desimal, apa artinya angka2 di belakang koma.

1 0 2 3 4 5 6 , 7 8 9 1
1 jutaan, 0 ratusan ribu, 2 puluhan ribu, 3 ribuan, 4 ratusan, 5 puluhan, 6 satuan, koma,
7 persepuluhan, 8 perseratusan, 9 perseribuan, 1 persepuluhribuan, dst.

Dan untungnya dia ngerti lho!

Tiba-tiba dia bilang dia menciptakan ukuran baru: rm & rg, katanya singkatan dari rektometer & rektogram. Letaknya di bawah tangga mili. Perlu bikin hak paten nih :-)

Lalu dia buatkan soal buat saya,

Mamah, 10000000 rg = ................. kg?

Ha ha.... untung masih bisa bercanda dia.

Kebetulan yang pas, rectum di biologi juga bagian terujung dari sistem pencernaan.

"Jadi, kelereng Vino sekarang 100 butir." (Jawaban Mat. mesti lengkap)

Yang satu ini juga mengganggu pikiran saya.

Soal untuk anak kelas 2, midsemester 1:

A ---------- B ----------- C ------------ D

Semut berjalan dari A ke B sejauh 123 mm, dari B ke C 74 mm, lalu dari C ke D 156 mm. Berapa mm-kah jarak yang ditempuh semut itu dari A ke D?

Jawaban anak sudah lengkap dengan jalan & hasilnya benar.

a = 123 mm + 74 mm + 156 mm = 353 mm

Jadi, semut itu telah berjalan 353 mm.

Kalau saya yang jadi gurunya ini sudah pasti saya benarkan -- nggak pakai pikir panjang,
berhubung saya juga sempat jadi guru SMP dan jadi guru mahasiswa. Perhatikan soal tsb: Bilangannya juga bukan yang cantik, tidak sederhana maksudnya. Perlu ketelitian tinggi utk menghitungnya. Kalau anak sudah berhasil melalui ini berarti dia sudah bekerja keras.

Tapi ternyata nilai anak dikurangi, kenapa? Karena konklusi/ kesimpulan yang diharapkan:

Jadi, jarak yang ditempuh semut itu dari A ke D adalah 353 mm.

Oh, come on, please deh....
Ini kan soal matematika, bukan soal bahasa Indonesia? Ternyata jawaban Kepsek, anak-anak terpaksa dibiasakan begini sejak awal karena kalau ujian negara/ nasional ya harus begitu, harus sama persis, kalau nggak ya dicoret-coret/ dikurangi nilainya. Pantes......


Yang mirip kasusnya:
Vino mempunyai 115 kelereng (banyak amat, buat apa?). Lalu Aldi memberikan 120 kelereng. Lalu diberikan kepada Farel 72 butir kelereng. Berapakah jumlah kelereng Vino sekarang?

Jawaban anak:
y = 115 + 120 - 72 = 163.
Jadi, kelereng Vino sekarang 163.

Nggak ada yang salah rasanya, tapi .... kok dikurangi nilainya & ada tanda titik-titik di belakangnya (oleh guru)??

Ketika saya protes, "Masak musti ditulis lagi kelereng Vino sekarang 163 kelereng?", dalam hati: "Redundant, berlebihan, lebay" :-)

Dan jawaban guru adalah: supaya tidak diulang menjadi:
Jadi kelereng Vino sekarang 163 butir.
Betul sih, tapi kan ini bukan soal Bhs. Indonesia, sehingga nilainya sampai berkurang?


Dan bagaimana dengan tahu? Karena pada soal yang lain anak menjawab:
Jadi, jumlah tahu yang dibeli ibu 100.
---> Dikurangi nilainya juga, karena seharusnya:
Jadi, jumlah tahu yang dibeli ibu 100 potong.
Padahal, kalau ibu-ibu beli tahu bicaranya begini: "Mang, beli tahu 20!"
Gitu 'kan? Nggak pakai embel-embel potong.
____________________________________________________________________

Mumpung sedang membahas Matematika, ini contoh soal lainnya:
a = 245, b = 87, c = 128, d = a + b - c.
Berapakah d?

Atau yang ini:
a + 73 + 127 = 500. Berapakah a?

Saya jadi senyum2 sendiri, teringat peserta kuis "Are U smarter than a 5th grader" yang biasanya celebs & mahasiswa itu saja belum tentu bisa. Memang sih soal ini sebetulnya sederhana, hanya tambah kurang, cuma karena ada variabel a,b,c,d kesannya susah gitu...

Tapi yang beratnya, soal ini diberikan pada awal th pelajaran kelas 2 SD lho! Pada saat mereka belum fasih berhitung 1-500!
Ibaratnya anak kita baru belajar jalan, hari kedua sudah disuruh nyebrang jalan, hari ketiga sudah disuruh ke warung.

Saya ingat dulu kelas 2 SD masih muter-muter di berhitung sampai 100 saja, tapi sampai fasih (tidak pakai jari lagi). Lalu diajarkan pengertian (konsep) perkalian, diikuti dengan tabel kali-kalian yang sampai 10 x 10 itu lho. SUDAH. Itu dulu. Nanti 'kan otomatis yang ratusan, 500, ribuan bisa dengan sendirinya.... (kalau sudah lancar dengan yang bilangan kecil)?

Tolong yang berwenang dalam pembuatan kurikulum SD memperhatikan ini.... Terima kasih.

Habitat Kupu-kupu, Habitat Itik, Habitat Domba

Saya jadi bingung sendiri, di manakah habitat kupu-kupu sebetulnya? Apa habitat itik? Domba?

1. Dalam ulangan ada pertanyaan:
Kupu-kupu biasanya tinggal di .............
Anak saya menjawab: di ranting pohon
---> Disalahkan lagi, alias 0!

Mari kita analisa bersama.
Soal ini essay, bukan MC (multiple choice), jadi jawaban bisa banyak:
bisa di daun, bisa di pohon, dll, tapi ternyata yang diminta guru: di darat! Selain itu SALAH! Waw.
Padahal dalam soal itu juga ada gambar kupu-kupu hinggap di batang pohon.

Perjalanan saya mencari jawaban lewat google dll search engine, mendapatkan banyak.
Antara lain bahwa kupu-kupu tidak selalu hanya makan nektar (seperti diajarkan di SD nya), melainkan juga ada kupu-kupu yang makan sampah, bangkai (pantesan, kupu-kupunya jadi jelek ya?). Sehingga ada kupu-kupu yang suka hinggap di bunga, ada yang suka di sampah.

Dan habitat kupu-kupu pun macam-macam, tapi intinya kalau orang bilang di hutan ya benar, pohon ya benar, di pulau Jawa ya benar, di Kalimantan ya benar juga. Lihat antara lain di sini. (http://yoxx.blogspot.com/2008/08/kupu-kupu-di-indonesia.html)

2. Habitat Itik & Domba, di manakah sebenarnya?

Beberapa kali anak saya terjungkal (alias dapat 0 untuk soal):
Tempat hidup bebek di .......................
a. udara b. darat c. air

Dia selalu ingin menjawab di air, karena ingat gambar bebek selalu di air. Tapi guru mintanya: darat. Jadi kalau begitu di mana dong? Apakah amphibi karena bisa hidup di 2 alam?

Harusnya dalam pilihan jawaban, c. itu laut agar tidak membingungkan.
Tapi eit........, barusan saya dapat ada bebek juga yang habitatnya laut.
Lihat di Kompas yang ini.

Dan dari internet saya dapatkan: bebek adalah binatang darat yang mencari makan di air.

Yang susahnya di catatan hanya dicantumkan yang jelas-jelas saja, macam rusa, sapi, babi, singa --> Ini 'kan semua jelas di darat, ngapain dicatat?

Tapi kalau ulangan ditanyakan yang ambigue seperti ini (habitat bebek, habitat domba).
Di mana habitat domba?
Anak menjawab: Daerah dingin --> eh, disalahkan lagi.
Mungkin mintanya di darat ya?

Tapi kalau begitu, tidak konsisten dengan catatan, karena dalam catatan dikatakan ular & kalajengking di gurun. Kalau mau konsisten, mestinya ular & kalajengking juga di darat. (Apalagi ular juga ada yang di sawah, ada yang di gua, ada yang di pohon.)

Kalau saya bandingkan dengan artikel berikut, (dikatakan habitat kelelawar adalah pohon, gua-gua, batu karang, alam terbuka), maka berarti tidak salah yang ditulis anak saya bahwa domba di daerah dingin, kupu-kupu di ranting pohon, ya 'kan?

Intinya, jangan memasung kreativitas anak, selama kreativitas itu baik.

Kalau habitat domba = darat, tapi anak mengatakan daerah dingin, atau pegunungan, atau rerumputan, ya sah-sah saja menurut saya.

Karena jadi pertanyaan sekarang:
- Di manakah/apakah habitat burung? (Burung 'kan tidak selamanya terbang, kadang dia mencari makan di pohon?)

- Di manakah/apakah habitat manusia? :-)
Mengingat manusia hanya kakinya yang menginjak tanah/darat, tapi hidungnya di udara. Kalau sapi, rusa jelas kakinya di darat, moncongnya juga sering di darat karena makan rumput.


Wah, sifat asperger saya jadi muncul (ngotot & obsesif)... gara-gara soal habitat ini.

Catatan definisi habitat :

  1. tempat tinggal khas bagi seseorang atau kelompok masyarakat
  2. (Bio) tempat hidup organisme tertentu; tempat hidup yang alami (bagi tumbuhan dan hewan); lingkungan kehidupan asli
  3. (Geo) tempat kediaman atau kehidupan tumbuhan, hewan, dan manusia dengan kondisi tertentu pada permukaan bumi

Kelas:

Nomina (kata benda)

Sumber:

Pusat Bahasa

Tas/Buku Terlalu Berat. Hubungannya dengan Gurun.

Satu hal lagi:
tas dan bukunya terlalu berat!!

Sehingga dia/mereka terpaksa pakai tas trolley, yang setiap 6 bulan atau 1 tahun harus diganti karena rusak/kucel, walaupun ini tergantung kualitas & harga tas, he he...

(Kalau tidak salah, utk seorang anak yang sedang tumbuh tulang2nya, beban maksimum untuk dibawa di bahunya = 10% berat badan. Jadi kalau berat badannya 25 kg, hanya boleh membawa 2,5 kg beban.)

Untuk masing2 pelajaran ada 2 buku tulis untuk Catatan, PR, pekerjaan sekolah + ada 1 buku cetak. Sehari 3 sampai 4 pelajaran, jadi total buku yang dibawa = 9 sampai 12 buku per hari.

Dan belum tentu dipakai semua....
Kalau anak pulang sekolah saya cek buku2nya, banyak yang masih kosong.
Tapi kalau ada yang tidak dibawa, (pernah) anak kena denda disuruh menulis halus 100 kali (nggak kuraaang!)

Ternyata buku cetak juga ikut ditulisi untuk pekerjaan sekolah/PR, 'kan sayang?
Apa gunanya buku tulis dong?
Lalu kadang masih ada lembar fotokopi untuk ditempelkan di catatan.
Kenapa utk belajar kok repot sekali? Kenapa ongkos untuk sekolah kok musti mahal?

Sebagai perbandingan, jaman saya dulu buku cetak bisa turun sampai (minimal) 3 generasi adik saya. Karena selain cara pegangnya rapi, buku cetak tidak ditulisi, kecuali catatan2 tambahan di sana-sini.

(Cat: Cara spt ini sangat menolong dalam penghematan. Saya dari keluarga besar, dengan pencari nafkah tunggal hanya bapak, seorang guru/Pegawai Negeri, dgn gaji pas-pas an banget nyaris kurang.....)

Sedangkan jaman sekarang, setiap semester utk anak kami belanja buku cetak 350 ribu, belum termasuk buku tulis & sampul plastik, dan itu tidak bisa dilungsurkan utk dipakai lagi oleh orang lain.

Bukankah ini selain pemborosan, juga menambah tinggi timbunan sampah, dan lebih jahat lagi merusak alam sendiri? (Semakin banyak pohon ditebang, utk dibuat buku).

Bapak saya pernah cerita: Gurun Sahara (masa ya? atau saya salah ingat?) sebetulnya pernah hutan dan menjadi gurun hanya dalam waktu 50 tahun!
Karena pohon-pohon di sana ditebangi dgn membabi-buta untuk pembuatan rumah/villa/gedung dll dalam jaman Romawi.
Tapi lihat, setelah dia menjadi pasir, susah sekali 'kan untuk mengembalikannya menjadi daerah berpohon? Menghabiskan hanya perlu 50 tahun, tapi membangun kembali susah sekali......

Kalau saya baca di koran (Kompas mis.) mulai disebutkan kemungkinan berapa tahun lagi pohon di Kalimantan habis (yang padahal dulunya hutan perawan model Amazone gitu....).

Jadi? Sekolah harus menghemat pemakaian buku!

PS : Dan pesan utk kita-kita: segera tanam pohon di tanah.

Bukan sekedar di pot.
Bukan cuma dedaunan
(seperti suplir, sri rejeki, aglonema atau dieffenbachia),
tapi POHON yang BERAKAR KERAS.
(seperti mangga, jambu air, jambu klutuk, belimbing, belimbing wuluh, pohon salam).

Plus di pagar kita coba ditanam labu (merambat), waluh, daun sirih, dll tanaman merambat.


PS 2: Nah, ini barusan dapat dari http://agungks.multiply.com/reviews/item/8:

Dalam sejarah kita lihat bagaimana kemunduran pulau Paskah yang pohon-pohonnya habis ditebang untuk perahu, sehingga tidak ada lagi pohon yang lebih tinggi dari 3 meter sekarang!

Bangsa Funisia juga mengeksploitasi hutan berlebihan untuk kapal, sampai terjadi penggurunan, yang dibantu oleh perubahan iklim.
Demikian pula daerah gurun terbesar Sahara.
Usaha-usaha kita banyak yang anti-survival dan mengecilkan fitness. Kurang sekali kesadaran untuk mewariskan tanah air yang lebih baik untuk generasi masa depan.

PS 3: Juga dari sini http://tulisdunia.blogspot.com/2009/10/gurun-sahara-pernah-hijau.html
diperoleh info bahwa Gurun Sahara pernah hijau.

Empang = Kolam 'kan? Itik = Bebek 'kan?

Dalam sebuah soal anak SD kelas 1-2 ada gambar anak bermain dengan ikan dalam kolam.
Lalu bunyi soalnya:
Di depan rumahku, ada............
a. sungai
b. kolam
c. empang

Anak SD ini menjawab empang, tapi disalahkan, kata guru harusnya kolam.

Kesalahan terletak pada soalnya. Menurut saya soal ini ambigue. Empang dalam bahasa Sunda ya berarti kolam. Empang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Dept. Pendidikan Indonesia ya sama juga, artinya 1. bisa pematang sawah, 2. bisa kolam tempat memelihara ikan, tambak. (Tidak disebutkan mesti kolam besar).
Jadi, kesimpulannya jawaban anak SD ini benar!

Dan lagi, kalau mau cari2 kesalahan, saya juga bisa temukan 1 kesalahan dalam soal, yaitu tidak perlu ada tanda baca koma dalam kalimat "Di depan rumahku, ada............ "
--> Karena tidak ada anak kalimat di sana.

Dalam ulangan yang lain, ketika ditanyakan suara hewan...
Kambing mengembik, kerbau melenguh, lebah mendengung, nyamuk mendenging, dll --> hafal semua.
Tiba pada pertanyaan: "itik .............. ", anak lupa, sehingga dia menciptakan jawaban sendiri: "itik meletik"! Hehe, tentu saja disalahkan, tapi .... mengapa anak-anak lain yang menjawab "itik meleter" juga disalahkan? Jwbn Bu Guru "itik menciap". Ternyata Bu Guru sempat tertukar antara itik & pitik.... :-) Untuk hal ini sudah pernah saya bicarakan dengannya. Maaf ya Bu Guru diceritakan di sini...

(Catatan: bahasa Jawa, pitik = anak ayam).

Kurang kata "adalah" --> kurangi nilai

Soal di lembar ulangan Bahasa Indonesia seorang anak SD kelas 2:

1. Apa kepanjangan dari Toga?
Jawaban anak:
Kepanjangan dari Toga tanaman obat keluarga.

Tidak ada yang aneh bukan? Tetapi karena tidak mencantumkan kata "adalah" maka nilainya dikurangi, oh...:-(

Jawaban seharusnya (menurut guru):
Kepanjangan dari Toga adalah tanaman obat keluarga.


2. Siapa yang rajin bercocok tanam?
Jawaban anak (menurut saya tidak ada yang salah):
Yang rajin bercocok tanam ibu.

Dikurangi nilainya oleh guru, dianggap kurang tepat, katanya seharusnya sesuai cerita di atasnya:
Yang rajin bercocok tanam adalah ibuku.

Bukankah ini aneh, karena "ibuku" adalah ibu dari penulis cerita, jadi harusnya dijawab "ibunya", atau "ibu" saja, artinya anak SD ini telah menjawab benar.

3. Kapan saya menyiram bunga?
Jawaban anak: Saya menyiram bunga sore hari.
Juga dikurangi nilainya, karena kurang kata "setiap", jawaban lengkap yang diminta:
Saya menyiram bunga setiap sore.

Bunyi soalnya pun sudah terasa aneh, karena tokoh "saya" ada dalam cerita, maka pertanyaan seharusnya: Kapan dia (anak dalam cerita) menyiram bunga?

Kata "Gampang" sudah masuk bahasa Indonesia

Dalam sebuah soal IPS (bukan Bahasa Indonesia, lho....):
Apa manfaat memelihara dokumen? (3)
Jawaban anak (salah satu): Supaya gampang dicari.

Kata "gampang" dicoret oleh guru, diganti "mudah".

Memang "gampang" berasal dari bahasa daerah (Sunda? "gampil"), tapi bukannya sudah jadi bahasa Indonesia?
Maka saya pun membuka lagi KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) on line, dan voila....., ada di sana. Ini dia..... Bahkan kata ''enteng'' juga sudah jadi B. Indonesia.

gam·pang a 1 mudah; tidak sukar: berbicara itu -- , yg sukar adalah mengerjakannya; 2itu adalah persoalan -- , tidak perlu kita bicarakan sekarang;
meng·gam·pang·kan v 1 memudahkan; membuat menjadi mudah: pedoman itu hanyalah untuk ~ pelaksanaannya saja; 2 menganggap enteng (remeh, sepele); meremehkan: kita jangan ~ persoalan yg penting itu;
gam·pang·an a cak 1 lebih mudah: ~ berbicara dp bekerja; 2 tidak menuntut banyak syarat yg harus dipenuhi: orangnya sih ~ , tidak banyak tuntutan;
gam·pang-gam·pang·an a dng secara mudah; tidak dng sungguh-sungguh
enteng; remeh; sepele:

Tidak ada istilah "kemarin lusa", yang ada "kemarin dulu"!

Dalam buku cetak Matematika kelas 1 SD ada bahasan khusus tentang
hari ini, besok, lusa, kemarin, kemarin lusa.

Ada yang aneh? YA, yaitu istilah kemarin lusa.
Kalau Prof. Anton Moeliono, ahli bahasa Indonesia membaca ini pasti beliau akan keberatan.
"Lusa" itu menyatakan hari sesudah esok.
Tidak pernah "lusa" dipasangkan dengan "kemarin".
Yang ada "kemarin dulu" (artinya = hari sebelum kemarin = 2 hari sebelum hari ini). Kalau tidak percaya, bukalah kamus.

ke·ma·rin n hari sebelum hari ini: -- anak-anak tidak masuk sekolah;
-- dulu dua hari sebelum hari ini; -- sore ki belum tahu apa-apa; belum berpengalaman: mana dia tahu, dia kan anak -- sore


lu·sa n hari sesudah besok; hari yg ketiga sesudah hari ini

(--> walaupun ada kesalahan, kata ketiga harusnya kedua).

Cari kata dasar dalam KBBI
Tidak menemukan kata yang sesuai dengan kriteria pencarian!!!



Kritik untuk Perbaikan Kurikulum di Indonesia (+ Contoh Soal)

Pembaca yang budiman, khususnya para orang tua dan guru,

Blog ini dibuat untuk menyalurkan protes / kritik untuk perbaikan kurikulum pendidikan SD di Indonesia. Kebetulan saya kurang pintar bicara, tapi rasanya cukup baik dalam tulisan.

Suami dan saya heran dalam kelas anak kami yang baru kelas 2 SD sudah banyak yang mendapat nilai MERAH untuk ulangan harian IPS, Agama, PKN. Kenapa? Ternyata antara lain:

1. Guru "kurang ramah" dalam menilai jawaban anak.

Contoh: Ada anak yang disalahkan sewaktu menjawab mama/papa, mesti ayah/ibu.
Di sekolah lain ada yang disalahkan ketika menjawab kakung, musti kakek.
Padahal inilah kekayaan dari keanekaragaman Indonesia.

Belum lagi pertanyaan yang dibuat agak lari dari catatan anak.
Misalnya di catatan (kelas 1 SD):
Kakek adalah ayah dari orang tua kita. Nenek adalah ibu dari orang tua kita.
Paman = saudara laki-laki dari orang tua kita. Bibi = .......................
Tetapi dalam soal di-pleset-kan menjadi:
Ibu dari ayah dinamakan ....... Ayah dari ibu disebut .....................
--> Dan ternyata ini cukup membuat anak bingung.
Kakak laki-laki dari ibu kita disebut ............
--> Percaya deh, ini cukup membingungkan APALAGI KALAU ibunya tidak punya kakak laki-laki :-)

2. Bukan hanya tentang nama panggilan seperti contoh barusan, banyak lagi jawaban yang harus sama persis dengan catatan, padahal PERTANYAAN BERSIFAT TERBUKA (bisa banyak versi jawaban), TAPI JAWABAN HARUS SATU (seperti kunci jawaban guru).

Ini tidak tepat karena siapa yang bisa menebak persis kemauan guru? Pantas saja, banyak anak dapat nilai di bawah 50, untuk pelajaran agama, IPS, PKN, ... (yang pada jaman kami dulu pasti lulus, asalkan bisa "ngarang-ngarang" jawaban yang bagus-bagus).

3. Catatan yang tidak konsisten. (Lihat contoh soal Habitat Itik, Habitat Domba, artikel lain dalam blog ini).

4. Soal-soal yang "ambigue". (Lihat contoh soal pada artikel lain dalam blog ini.)

5. Bahasa dan kalimat yang digunakan terlalu tinggi.

6. Bahasa dan kalimat yang digunakan terlalu kompleks untuk anak SD awal.


Saya pernah datang ke sekolah membawa setumpuk kertas ulangan anak yang di-contreng2 padahal hanya salah 1/2 atau kurang lengkap. Untung, Bu Guru mau menerima dengan baik dan akhirnya meng-koreksi nilai-nilai. Terima kasih Ibu! Sayangnya, tidak bisa semua dibenarkan, karena Ibu Guru harus bicara dengan paralelnya (guru-guru yang setingkat), dan kalau mereka bilang tidak, ya tidak.

Contoh:
Menurut guru, DOKUMEN = surat2 penting yang diperlukan sebagai bukti atau keterangan,
lalu anak hanya menjawab: DOKUMEN = surat penting ---> disalahkan.

Saya tanya: manakah yg lebih esensial, surat pentingnya, atau bunga-bunga (keterangan) di belakangnya? Untung akhirnya Guru mengoreksi nilainya, jadi 1/2, yang awalnya 0.


Lalu dalam pelajaran Agama, ada definisi rasa TAKUT dibagi menjadi 2, yaitu rasa takut yang sehat/wajar/beralasan & yg tidak wajar/tidak beralasan (lengkap dengan contoh2nya!!). Untuk apa? Terlihatnya sudah seperti pelajaran Filsafat ya...?
Ternyata catatan & soal dibuat bersama oleh beberapa guru.
Rasa takut yg sehat adalah ..........nah lho................
(Jwbn: rasa takut yang muncul karena melihat kemungkinan bahaya sehingga mendorong kita untuk mengatasinya.)

Lalu kok ya Matematika untuk kelas 2 SD modelnya seperti ini:
- Selisih angka 5 pd bilangan 254 dan angka 7 pd bilangan 97 adalah.....
- Jumlah angka 2 pd bilangan 424 dan 72 adalah ...........
- Selisih angka 4 pd bilangan 344 adalah .....

Wow, dahsyat ! Untuk apa ini? Saya tidak melihat kegunaannya, yang ada anak-anak "terjungkal" karena tidak teliti melihat soal. Saya saja pertama kali lihat soal ini hampir salah mengerjakannya. (Padahal saya seorang sarjana Matematika).

Lalu apakah dibenarkan Mencongak sampai 50 soal? Bahkan 100, karena (beberapa) anak ribut, sehingga satu kelas ikut kena hukuman mencongak. Jawaban Ibu Guru, anak-anak diberi waktu jeda setiap 10 soal, jadi tidak terlalu melelahkan, baiklah kalau begitu...

Untuk pelajaran IPS, saya sempat tanyakan seberapa PENTING nya anak SD belajar jenis2 dokumen: KTP, SIM, ijazah, Akte Kelahiran, Kartu Keluarga, Akte Tanah, dll dengan siapa pejabat yang menandatangani?

Untungnya, dalam hal ini guru sehati (melihat tidak perlu), namun terpaksa mengajarkan juga, karena ada dalam kurikulum & buku cetak.

Dalam catatan tertulis:

Kartu Keluarga dikeluarkan oleh Kelurahan, ditandatangani oleh Camat & Kepala Keluarga.

Lalu ada soal:

Yang menandatangani KK adalah .............. dan ..................

Anak menjawab: Pejabat yang berwenang dan ayah.

Menurut saya: benar.
--> Nyatanya, hanya dinilai 1/2 karena: "ayah" dibenarkan (harusnya kepala keluarga), tapi "pejabat yang berwenang" disalahkan (harusnya camat).

Ini berat... Untuk anak kelas 2 SD, bagaimana dia tahu bedanya Kelurahan, Kecamatan, Kantor Catatan Sipil, Lurah, Camat, dll? Sedangkan saya saja, baru tahu setelah SMA ketika harus mengurus surat kelakuan baik.

Lalu tidak konsisten dengan catatan, karena dalam catatan ada yang seperti ini:

Akta Kelahiran dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil, disahkan/ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

Kalau mau konsisten, harus lebih detail siapa yang mensahkan, Kepala Pengadilan Tinggi-kah seperti pada jaman saya, atau siapa? (tidak cukup hanya "pejabat yang berwenang")

Ini hanya beberapa contoh soal yang saya protes.

Kami berharap & berdoa agar secepatnya kurikulum sekolah di Indonesia bisa dibuat genah/enak, ringan seperti jaman kami dulu, thn 70 awal - 80 an. Yang penting konsepnya dipahami bener, bukan soalnya dibikin sulit. Bpk/Ibu Menteri, lihatlah mereka anak-anak kita.....!

Saya kasihan kepada anak lain yg mulai stres karena orangtua malah menambah beban anak
dengan hukuman atau perkataan semacam "masak gitu aja gak bisa?" dll. Kalau kami dengan anak kebetulan kompak, kami ikut belajar & sama-sama menertawakan soal-soal kalau ada yang aneh-aneh ... :)

Ternyata banyak yang senasib ........
//luqmanhakim.multiply.com/journal/item/113

7. Yang ketujuh, kalau saya bandingkan dengan jaman saya sekolah dulu, sistem CBSA (cara belajar siswa aktif) kelihatannya hasilnya kurang baik dan sering salah kaprah diartikan anak-anak belajar sendiri. Akhirnya orang tua harus lebih banyak porsi mengajarnya (dibandingkan generasi ibu saya dulu). Kalau orang tua sibuk, anak-anak terpaksa di-les-kan... Jadi apa gunanya ke sekolah? Lebih capek lagi untuk si anak.

Semoga blog ini berguna untuk kemajuan Indonesia.
Salam.......